Etika Religius dalam Komunikasi

Etika Religius dalam Komunikasi

DR. Widodo Muktiyo[1]

Abstrak

Artikel ini membahas berbagai persoalan etika secara umum dan upaya menarik pemahaman etika dalam bingkai Islam. Etika sebagai bagian dari filsafat moral yang berada dalam realitas kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai religius. Agama itu sendiri (Islam) merupakan petunjuk bagi manusia (huda li nas) untuk mengatur dirinya beserta alam seisinya agar terjadi interaksi yang saling menguntungkan dalam kerangka beribadah kepada sang Khalik, maka etika dalam bingkai religius ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh dengan perspektif dan orientasi yang lebih luas (dunia dan akhirat).

Peradaban modern yang dipenuhi dengan berbagai lompatan teknologi informasi dan komunikasi tidak serta merta menjadikan berbagai bentuk komunikasi mengalami perubahan nilai yang seiring atau selalu bersandarkan pada orientasi etika yang berdimensi Ilahiah. Yang kerapkali terjadi justru bahwa perkembangan peradaban manusia yang makin maju diikuti dengan kemerosotan moral dan perilaku komunikasi yang serba manipulatif sehingga pegangan etika sulit diterapkan.

Pemahaman etika religius seseorang dengan ditopang keyakinan dan keimanan kepada agamanya diharapkan dapat menjadi solusi yang mendesak dilakukan agar komunikasi sebagai sarana penting dalam kehidupan senantiasa berjalan sesuai dengan koridor menuju ke arah kaffah yang senantiasa diridhoi Alloh SWT.

Keyword: etika, etika religius, komunikasi

Etika ditinjau dari etimologi atau asal kata berasal dari bahasa Latin (ethicus) dan bahasa Yunani (ethicos) yang berarti kebiasaan. Etika dikatakan baik apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya. Namun dalam perkembangannya etika dipandang sebagai ilmu yang membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia. Pada situasi tertentu ia dapat dinilai baik dan juga dapat dinilai tidak baik. Namun demikian etika berkembang menjadi ilmu normatif yang berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Wursanto, 1987).

Sementara itu, K. Bertens dalam bukunya Etika (1994), mengungkapkan bahwa etika merupakan niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau sebagai akibatnya. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi. Etika juga berdimensi nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya (Bertens, 1994).

Pada tataran yang lebih tinggi, etika dipandang sebagai cabang filsafat moral atau filsafat susila (Aristoteles, 384 – 322 SM) sehingga ia melakukan penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia, baik dalam hal yang baik ataupun yang buruk. Lebih jauh lagi etika bukan bicara manusianya tetapi membahas bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku secara benar. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Franz von Magnis (nama asli sebelum berubah menjadi Franz Magnis-Suseno saat menjadi warga negara Indonesia) dalam bukunya Etika Umum bahwa etika adalah filsafat moral, filsafat praxis tentang manusia (von Magnis, 1975).

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Rafik Issa Beekun, bahwa etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu. Demikian halnya diungkapkan Hamzah Ya’qub dalam Etika Islam (1978), dimana ia kembali menegaskan bahwa etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran (Ya’qub, 1978: 12; Beekun, 2004: 3). Kemudian istilah “etika” itu sendiri sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yang berarti; merupakan pola umum atau jalan hidup, seperangkat aturan atau “kode moral” dan penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku. Atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar moral (Abelson, 1972: 82; Taylor, 1975: 1).

Sementara itu, usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup dengan berbagai tanggung jawabnya, mendorong dirinya untuk menggunakan kemampuan akalnya. Perbuatan manusia itu tidak pernah terlepas dari sifat baik, buruk, harus dilakukan, harus ditinggalkan, atau boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan, kesemuanya itu erat kaitannya dengan masalah etika. Maka oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir semua ahli pikir (filosof) pernah menulis masalah etika (Suseno, 1997: 5).

Kaitan dengan Kelahiran Islam

Islam yang lahir pada abad ketujuh di Arabia, tak diragukan lagi merupakan salah satu dari reformasi agama yang paling radikal yang pernah muncul di Timur. Qur’an sebagai tulisan autentik yang paling awal dari peristiwa besar ini, menjelaskan istilah-istilah konkret dengan gamblang bagaimana dalam periode penting tersebut terjadi konflik yang banyak menumpahkan darah antara norma-norma suku yang saat itu dihormati. Pandangan baru tersebut berjalan terhuyung-huyung dan setelah usaha pertahanan yang sia-sia dan melelahkan, akhirnya menghasilkan hegemoni kekuatan yang baru. Arabia dari masa penyembahan berhala pra-Islam sampai permulaan munculnya Islam, adalah masa yang sangat penting bagi siapa saja yang berkepentingan dengan masalah-masalah pemikiran etik, karena masa itu memberikan materi khusus yang bagus sekali untuk mempelajari lahir dan tumbuhnya peraturan moral (Syukur, 2004: 183-184).

Tentu kita masih ingat bahwa zaman itu dikenal dengan zaman jahiliyah yakni periode pagan sebelum datangnya Islam, adat istiadat dan pandangan aneh yang berkaitan dengan kepercayaan musyrik merajalela di kalangan orang Arab nomadik. Adat istiadat dan kepercayaan tersebut ditolak oleh Islam karena bertentangan dengan wahyu. Adat istiadat yang mampu bertahan hidup di tengah-tengah munculnya Islam mengalami perubahan bentuk dan substansi sehingga berhasil mewujudkan gagasan-gagasan moral yang digabungkan dengan peraturan etika yang baru (Izutsu, 1993: 19).

Sebelum berbincang lebih lanjut, sebagaimana diketahui etika sebagai filasafat moral nampaknya tidak secara gampang ditarik dalam wilayah agama (religius). Universalitas tatanan nilai ketika dihadapkan pada doktrin agama kerap kali menjadi persoalan tersendiri. Dua hal yang relatif mengalami perbedaan tersebut tatkala nilai-nilai kebaikan itu senantiasa diorientasikan pada nilai-nilai tentang kesempurnaan hidup yang berdimensi dunia dan akhirat.

Kemudian dalam konteks alam religius inilah yang menjadi perhatian tersendiri. Ia berada dalam wilayah ’tetap’ dari kitab sucinya. Sehingga kita akan diajak memaknai berbagai tatanan nilai yang jauh lebih dalam dan sempurna sehingga nalar saja tidak akan cukup dalam menangkap fenomena etis dalam khasanah agama. Di Islam dalam mengambil nilai-nilai religius dikenal adanya pendekatan atau cara pandang bayani, burhani ataupun irfani. Bayani lebih mendasarkan diri pada nash-nash yang saling menjelaskan. Teks-teks resmi Al Qur’an dan Ash Sunnah menjadi landasan dalam melakukan pemahaman terhadap sebuah nilai ataupun aturan yang hendak dikonstruksi dalam alam nyata. Sementara itu cara pandang burhani lebih menekankan pada adanya bukti-bukti yang bisa diformulasikan dalam sebuah dalil ilmiah. Nilai-nilai Islam secara empiris dapat diuji dan dibuktikan sehingga lebih mudah dipahami dalam kehidupan yang nyata. Sedangkan cara pandang irfani lebih menekankan adanya unsur nurani, dimana sebuah nilai Islam dapat dimasukkan dalam qalbu dan dicerna secara emosi dan mengedepankan pertimbangan perasaan. Sehingga baik dan buruk dapat direfleksikan dalam tataran kehidupan yang lebih humanis.

Ketiga sumber penafsiran terhadap sebuah nilai religius (Islam) menjadi lahan yang senantiasa lahir dan terus berkembang dalam pergulatan alam sadar manusia. Meskipun secara jelas nilai Islam sudah diyakini sebagai ”kesempurnaan pedoman dalam kehidupan bagi pemeluknya namun dalam mengimplementasikan pada ranah empiris mengalami dinamika yang tinggi.

Etika Religius dalam Komunikasi

Berbicara mengenai etika dalam islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, etika dalam Islam (bisa dikatakan) identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias dengannya dan ilmu tentang hal-hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas daripadanya (Fakhry, 1996; Syukur, 2004: 3). Salah satu tokoh kunci dalam etika religius adalah Abu al-Hasan al-Mawardi dengan karya besarnya, dalam bidang etika Adab al-Dunya wa al-Din. Ia hidup di abad klasik (974-1058) satu zaman dengan al-Ragib al-Isfahani. Buku al-Mawardi tersebut paling tidak mengandung tiga isu pokok: moralitas duniawi, moralitas ukhrawi dan moralitas individual. Al-Mawardi dalam karyanya berusaha menganalisis ketiga isu pokok yang berlandskan Qur’an dan hadis dengan memberikan keistimewaan akal untuk mengikat ketiga isu pokok tersebut. Misalnya mengenai permasalahan “Truth and Falsehood”, al-Mawardi berusaha mengekspresikan idenya bahwa akal selalu menuntut kejujuran. Menjelang abad klasik al-Mawardi telah merintis untuk mendemonstrasikan sifat yang sebenarnya tentang pentingnya akal. Dimana ia telah memperbincangkan tentang kesadaran akal praktis (reasoned on practical considerations) (Donaldson, 1953: 85; Syukur, 2004: 8-9). Etika religius sendiri masuk dalam salah satu ranah dari tipologi etika Islam. Selain etika religius, yakni ada etika teologis, moralitas skriptural dan etika filosofis (Fakhry, 1996). Perbedaan mencolok yang dimiliki oleh etika religius terutama berakar dalam Qur’an dan Sunnah, dimana di satu sisi cenderung melepaskan kepelikan “dialetika” atau “metodologi” dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara yang lebih langsung (Syukur, 2004: 196).

Spirit yang diusung oleh etika religius ini menjadi sangat penting bagi ranah komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, komunikasi merupakan kegiatan yang sangat mendasar dan vital sehingga tidak dapat dipisahkan bagi kehidupan manusia. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa komunikasi berhubungan dengan seluruh kehidupan manusia, dan setiap studi terhadap aktivitas manusia harus menyentuhnya (Wright, 1989; Effendy, 2000: 3, Chalil, 2005: v; Littlejohn dan Foss, 2005: 2).

Komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dimanapun manusia berada, komunikasi senantiasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok dan berhubungan dengan manusia lainnya. Setiap pesan yang berwujud lambang-lambang diformulasikan manusia agar maksud dan tujuan yang ingin dicapai dan disampaikan dapat dimengerti oleh sesamanya. Komunikasi menumbuhkan persahabatan, saling pengertian sekaligus bisa menyebarkan perpecahan dan menghambat informasi (Wright, 1989).

Apalagi komunikasi memegang peranan penting dalam ranah kehidupan sehari-hari, dimana fungsi yang melekat padanya begitu penting yakni menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan mempengaruhi (to influence). Apabila ditilik dari ranah Islam, jika kita mau melongok sejarah Islam, ternyata 14 abad silam, baginda Rasullulah SAW sudah memberikan contoh yang sangat nyata tentang pentingnya komunikasi dalam mendakwahkan Islam. Rasullulah pernah bersabda, “Berbicaralah kepada mereka sesuai kadar akalnya” (Effendy, 1993: 55; Chalil, 2005: 5). Sehingga dapat dipastikan jika komunikasi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip luhur etika religius tentu akan menimbukan suatu implikasi yang buruk akhirnya.

Sebagaimana diterangkan dalam Qur’an bahwa manusia menurut kejadian asalnya (fitrah-nya) adalah makhluk mulia, tetapi karena berbagai hal yang muncul akibat kelemahannya sendiri, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling hina. Bersama itu pula ia kehilangan fitrah dan kebahagiaannya. Manusia akan selamat itu, jika ia mempunyai “semangat ketuhanan” (rabbaniyyah atau ribbiyyah) dan berbuat baik kepada sesamanya (Madjid, 1992: 104).

Oleh karena itu, komunikasi harus ditempatkan pada koridor yang benar apabila manusia tidak ingin kehilangan fitrahnya. Nurcholish Madjid pernah menegaskan bahwa dalam kenyataan historis, perjuangan memperoleh dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan merupakan ciri dominan deretan pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sebab dalam kenyataan, manusia lebih banyak mengalami kehilangan fitrah dan kebahagiaan daripada sebaliknya, karena mereka meninggalkan sesuatu yang sangat urgen yakni unsur emansipasi. Melalui perilaku yang emansipatoris, berarti menghargai keberadaan orang lain, karena orang lain memiliki kelebihan dari dirinya sendiri (Madjid, 1992: 93).

Hal ini senada dengan konsep etika filosofis yang telah dikembangkan sarjana Barat mazhab Frankfurt Jurgen Habermas dengan “Etika Komunikatif”, yang menekankan unsur emansipatoris dengan pendekatan strukturalis melalui cara yang bersifat dialogis. Habermas, dengan pendekatan itu, ingin mempertahankan karakter kognitif norma-norma moral dengan pijakan yang dibangun oleh Kant, dengan demikian ia disebut neo-Kantian (Clement, 1989: 159).

Pada sisi lain, pendekatan itu berarti Habermas ingin mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan kehidupan modern tidak sekedar menilai baik dan dikehendaki lepas dari pertanggungjawaban normatif, akan tetapi diperlukan struktur-struktur rasional kehidupan bermasyarakat dimana perlu ditemukan syarat-syarat transendental sebagaimana dikehendaki Kant. Pemahaman seperti inilah kiranya dapat menepis anggapan bagi kebanyakan masyarakat Muslim, bahwa wacana transendental bukan saja hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan belaka, akan tetapi di dalam berbagai dinamika yang terjadi di dalam struktur masyarakat sarat dengan nuansa transendentalis.

Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip etika komunikasi dalam piagam Madinah yakni prinsip ummah. Dimana merujuk pada pola komunikasi yang saling menghargai dan menghormati (Mahfud, 2008: 10). Ditambah domain komunikasi Islam yakni dakwah, tabligh, amar ma’ruf nahi munkar, akhlak/adab Tujuannya adalah perubahan sikap, pendapat, perilaku sosial guna terbentuknya khairu ummah (Taufik, 2007).

Dalam realitasnya memang perspektif sosial ini erat kaitannya dengan agama. Keterkaitan yang dinamis antara agama dan sosial, menurut Meredith B. McGuire, seorang sosiolog, paling tidak ada dua alasan. Pertama, agama sangat penting bagi manusia. Praktek-praktek keagamaan merupakan bagian penting bagi kehidupan individual. Nilai-nilai keagamaan ternyata mempengaruhi tindakan manusia, dan makna keagamaan dapat membantu dalam menginterpretasikan berbagai pengalaman mereka. Kedua, agama merupakan objek paling penting dalam kajian sosiologis karena pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat, di samping adanya unsur yang kuat pengaruh dinamika masyarakat tersebut terhadap agama (McGuire, 2002: 1). Apa yang diungkapkan McGuire ini menguatkan bahwa sejatinya, agama tidak boleh dipisahkan dari konteks sosial yang melingkupinya atau dijauhkan dari perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan lanjut, nilai-nilai etika religius ini dekat dengan komunikasi profetik karena nilai-nilai di dalam Qur’an dan Sunnah diderivasi melalui semangat kenabian sehingga dapat dikatakan memiliki irisan yang sama. Selain itu, karena komunikasi profetik bukan hanya persoalan dakwah, melainkan persoalan kemanusiaan secara luas. Dimana didalamnya terkandung komunikasi yang berorientasi pada humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehumanisasi. Manusia dilihat secara parsial, sehingga hakikat kemanusiaan itu sendiri hilang. Sementara tujuan liberasi adalah membebaskan manusia dari struktur sosial yang tidak adil dan tidak memihak rakyat lemah. Sedangkan transendental bertujuan membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang telah menjadi bagian dari fitrah kemanusiaan. Upaya humanisasi dan liberasi harus dilakukan sebagai manifestasi keimanan kepada Tuhan karena Tuhan memerintahkan manusia menata kehidupan sosial secara adil (Kuntowijoyo, 1991).

Sebagaimana diungkapkan Haryatmoko (2007: 44), bahwa etika komunikasi memiliki tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu tujuan, sarana dan aksi komunikasi itu sendiri maka dapat dikatakan bahwa komunikasi profetik yang merupakan derivasi dari etika religius sudah memuat berbagai elemen tadi.

Dimana komunikasi profetik menginginkan praktik prinsip yang membebaskan manusia dari segala bentuk tekanan negara, pasar (iklan) dan apa pun yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan, apalagi yang jauh dari nilai transenden. Hal ini bukan berarti komunikasi profetik anti dan berada dalam posisi bertentangan dengan negara, pasar, dan berbagai produk industri lainnya. Iklan, negara, dan pasar dapat saja menyajikan pesan melalui media dengan cara menampilkan pesan yang lebih memanusiakan manusia, memberikan pembebasan psikologis dan bila perlu memberikan pesan dengan muatan transenden. Dengan demikian, komunikasi profetik bukan menjadi ancaman bagi pelaku media, pasar, atau pun negara (Syahputra, 2007: 154).

Selama ini ada kecenderungan bahwa media telah berfungsi sebagai penyebar kabar bohong atau tepatnya distorsi makna budaya oleh kepentingan politik kepada publik. Karena itu, misi komunikasi profetik adalah membebaskan manusia sejauh mungkin dari praktik komunikasi yang menimbulkan syak wasangka, kebohongan publik, penyebaran fitnah, kebohongan dan dusta. Komunikasi profetik tidak menoleransi segala perilaku yang dinilai mempraktikkan kebohongan (Syahputra, 2007: 153). Karena memang tidak jarang harkat dan martabat kemanusiaan yang seharusnya menjadi kekuatan otonom yang mengisi public sphere, dirampas oleh pasar atau negara melalui kerja media.

Renungan Bagi umat Islam, etika yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam kitab suci Qur’an dan Sunnah Rasul. Sebenarnya kalau kita mau jujur, Qur’an sebagai wahyu Allah telah memberikan prinsip-prinsip dasar yang melandasi etika komunikasi, termasuk komunikasi massa. Dalam konteks komunikasi, maka etika yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berkomunikasi yang baik menurut norma agama, sudah tentu harus sesuai pula dengan norma agama yang dianut oleh masing-masing individu.

Pada dasarnya semua agama memiliki tujuan yang sama bila berbicara tentang etika. Karena tentu saja tidak ada satu agama pun yang mentolerir, baik itu perlakuan kasar, kata-kata kotor, tindakan yang asusila atau perbuatan apa saja yang membuat orang lain tidak nyaman. Pendek kata agama mengajarkan bagaimana manusia itu dapat meraih kehidupan yang tenang, tentram, dan damai dengan sesamanya. Sehingga jika dilihat dalam konteks komunikasi massa, maka berbohong merupakan sifat tercela, karena sangat berbahaya. Kebohongan dalam komunikasi massa akan menyesatkan masyarakat disebabkan telah menyerap informasi yang salah. Tentu komunikasi seperti ini menyalahi etika komunikasi dan ajaran Islam (Widowati, 2008).

Kemudian dalam berbagai kesempatan kita entah disadari atau tidak kerap mengagungkan komunikasi ala Barat dan malas untuk menggali dari Islam dimana sebenarnya Islam merupakan sumber rujukan yang komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan termasuk komunikasi.

Ini menjadi penting karena harus kita ketahui bahwa komunikasi ala Barat dibangun dengan kerangka empirikal, mengabaikan aspek normatif dan historikal yang menghasilkan premature universalism dan naive empirism. Sementara komunikasi Islam dibangun melalui Islamic world-view, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan kaedah komunikasi dalam Qur’an dan Hadist. Dengan demikian akan lahir Islamic Triangular Relationship, yakni hubungan segitiga antara “Allah, manusia dan masyarakat”. Tujuannya adalah untuk mewujudkan persamaan makna secara universal, menuju perubahan masyarakat muslim, demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat (Rafiq, 2003: 149).

Kedepan tantangan komunikasi Islam para era ini adalah mewujudkan komunikasi yang berbasis moral dan etika untuk kesejahteraan umat manusia, dan bukan hanya menjadi sebagai komoditi kekuasaan an sich. Kita ambil contoh, sebagaimana diungkapkan oleh Ari Hidayat, dimana ia mengatakan bahwa salah satu persoalan besar umat Islam di era informasi ini adalah kurang memadainya media massa untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam. Suatu media massa yang membela kepentingan agama dan kaum Muslim kurang dimiliki oleh umat Islam. Akibatnya, tidak hanya aspirasi umat yang kurang tersalurkan, tapi umat Islam pun lebih sering menjadi “permainan” konsumen media lain. Walhasil, akses dan kekuatan informasi dunia Islam dalam pembentukan opini publik dunia sangat kecil kontribusinya (Hidayat, 2010).

Sebagai penutup, Awadh Bin Muhammad Al-Qarni pernah mengungkapkan bahwa orang yang berakal—dengan akal yang dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan fitrah dititipkan kepadanya—ia mengetahui bahwa alam raya yang dibangun dengan sangat teratur dan manusia yang diciptakan dengan bentuk paling sempurna ini pasti dibaliknya terkandung tujuan yang agung dan tinggi. Dimana tujuan besar, agung dan paling tinggi yang harus dicari oleh manusia dalam hidupnya adalah berusaha mencari ridha Allah, Tuhan yang menguasai alam semesta, dengan cara-cara yang ditentukan oleh-Nya (Al-Qarni, 2004: 26-27). Demikian pula halnya tatkala kita berkomunikasi. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa etika religius dalam komunikasi, dengan demikian bertugas merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia benar-benar mampu mengemban tugas khalifah fi al-ardi.

DAFTAR PUSTAKA

Abelson, Rizal. 1972. ”History of Ethics”, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of

Philosophy. New York: The Macmillan Company & The Free Press.

Al-Qarni, Awadh Bin Muhammad. 2004. Kembangkan Potensi Diri Anda

Sepenuhnya. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Beekun, Rafik Issa. 2004. Etika Bisnis Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia.

Chalil, Komarudin. 15 Kiat Menjadi Pembicara yang Menggugah dan Mengubah. Bandung: MQS Publishing.

Clement, Gace. 1989. “Is The Moral Point of View Monological or Dialogical? The Kantian Backgroud of Habermas”, dalam David Pallauer (ed), Philosophy Today. Chicago: De Paul University Press.

Donaldson, Dwight M. 1953. Studies in Muslim Ethics. London: S.P.C.K.

Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung. Citra

Aditya Bakti.

——————————. 2000. Dinamika Komunikasi. Cet. ke-4. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Fakhry, Majid. 1996. Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.

Hidayat, Ari. “Jurnalisme Islami”, Republika, 19 Juli 2010.

Izutsu, Toshihiko. 1993. Konsep-konsep Etika Religius Dalam Qur’an. Terj. Agus

Fahri Husein dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.

Mahfud, Mokhamad. 2008. ”Komunikasi Lintas Agama (Perspektif Filsafat Ilmu

Etika Profetik)”. Jurnal Komunikasi Profetik. Vol.1/No.1/April/2008.

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

McGuire, Meredith B. 2002. Religion: The Social Context. Fifth edition. California:

Wadsworth Publishing Company.

Rafiq, Mohd. 2003. ”Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi

Informasi”. Analytica Islamica, Vol. 5, No. 2. hal. 149-168. Program Studi

Komunikasi Islam. IAIN Sumatera Utara.

Suseno, Franz Magnis. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai

Abad ke-13. Yogyakarta: Kanisius.

Syahputra, Iswandi. 2007. Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media.

Syukur, Suparman. 2004. Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taufik, M. Tata. 2007. ”Konsep Islam Tentang Komunikasi: Kritik Terhadap Teori

Komunikasi Barat”. Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Taylor, Paul W. 1975. Principles of Ethics: An Introduction. California: Wads Worth

Publishing Company.

Ya’qub, Hamzah. 1978. Etika Islam. Jakarta: Publicita.

von Magnis, Franz. 1975. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Widowati, Dewi. 2008. ”Etika Komunikasi Massa” dalam

http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/29/etika-komunikasi-massa/”diakses 16 Juni 2010.

Wursanto. 1987. Etika Komunikasi Kantor. Jakarta: Kanisius.


[1] Penulis adalah Pengajar Magister Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS SOLO)